Heroik, Dramatis! Kata-kata yang cocok untuk kisah jagoan kita ini!
Namun sebelum membaca kisahnya, mohon luangkan sedikit waktu untuk menandatangani sebuah petisi untuk menolak kejahatan yang sedang terjadi di Tiongkok.
Sebuah kebaikan kecil tidak luput dari catatan Sang Pencipta. Bantuan Anda sangat berharga.
.
Malam itu dingin menusuk tulang. Kabut tipis menyelimuti pekuburan di Tanah Bambu, tempat Si Pitung—Ahmad Nitikusumah—menghabiskan detik-detik terakhir hidupnya.
Lelaki Betawi berumur 27 tahun itu duduk bersandar pada nisan tua, mata tajamnya menatap langit yang mulai berubah kelabu. Ia tahu, kali ini tidak ada lagi jalan keluar.
Schout van Hinne dan pasukannya telah mengepung seluruh area. Informan yang mengkhianati telah memberikan petunjuk yang tepat. Setelah bertahun-tahun menjadi buronan kompeni, setelah berkali-kali lolos dari jerat mereka, takdir akhirnya menuntut bayaran.
Jejak Perjuangan Seorang Jagoan
Si Pitung bukanlah sekadar perampok biasa. Ia adalah produk dari ketidakadilan sistem kolonial yang menindas rakyat kecil. Lahir di kampung Rawa Belong pada 1866, dari keluarga sederhana Bang Piung dan Mbak Pinah, Pitung tumbuh menyaksikan penderitaan kaumnya. Pajak yang mencekik, kerja paksa yang tak berperikemanusiaan, dan arogansi para tuan tanah yang bekerjasama dengan kompeni—semua itu mengukir amarah di hatinya.
Yang membuat Pitung istimewa bukanlah hanya keahlian silatnya yang dipelajari dari Haji Naipin, melainkan prinsip hidupnya. Setiap hasil rampokannya dari rumah-rumah orang kaya dan kantor-kantor pemerintah kolonial selalu dibagikan kepada rakyat miskin. Ia adalah Robin Hood Betawi yang sejati, yang memahami bahwa perlawanan sejati bukan sekadar untuk diri sendiri, tetapi untuk keadilan yang lebih besar.
Detik-Detik Terakhir dan Amanat Abadi
Ketika peluru pertama Hinne mengenai tangannya, Pitung tidak mundur. Ia membalas tembakan, namun peluru kedua meleset. Peluru ketiga menembus dadanya, membuatnya terjerembab ke tanah. Tubuh kecil yang selama ini lincah menghindari kejaran kompeni kini lemah tak berdaya.
Dalam napas yang tersengal, Pitung menatap van Hinne yang mendekat. Darah mengalir dari dadanya, namun matanya masih menyala. Dengan suara parau yang hampir tak terdengar, ia menyampaikan amanat terakhirnya:
“Gua haus, minum Hinne. Elo menang sekarang. Elo sebenarnya baik, tapi anjing-anjing elo yang jahat, Hinne. Elo mesti bae-bae ama orang kampung.”
Kata-kata sederhana itu merangkum seluruh filosofi perjuangannya. Bahkan di ambang kematian, Pitung tidak melontarkan kata-kata kebencian. Ia justru mengingatkan musuhnya tentang kemanusiaan—bahwa di balik seragam dan jabatan, mereka tetaplah manusia yang seharusnya memiliki hati nurani.
Permintaan terakhirnya yang tak terkabul—segelas tuak manis dan es—menjadi simbol sederhana dari kerinduan seorang anak manusia yang ingin merasakan kelegaan terakhir sebelum menghadap Sang Pencipta.
Warisan yang Tak Pernah Mati
Kematian Si Pitung pada 14 Oktober 1893 bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah legenda. Kompeni Belanda begitu takut pada kekuatan simboliknya hingga merahasiakan lokasi pemakamannya dan menempatkan penjaga di makamnya. Mereka paham bahwa kematian fisik Pitung tidak akan menghentikan semangat perlawanan yang telah ia tanamkan.
Amanat terakhir Si Pitung mengajarkan kita beberapa nilai luhur yang tak lekang oleh waktu:
Pertama, keadilan sejati lahir dari empati kepada sesama. Pitung tidak berjuang untuk kekayaan pribadi, tetapi untuk mengangkat derajat rakyat kecil yang tertindas. Ia membuktikan bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaan sendiri.
Kedua, perlawanan yang mulia tidak didasari kebencian, tetapi cinta pada kebenaran. Meski berhadapan dengan sistem yang zalim, Pitung tetap mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. Ia tidak membiarkan perjuangannya mengikis sisi manusiawi dalam dirinya.
Ketiga, keberanian sejati adalah berani berkorban untuk prinsip. Pitung rela mengorbankan kebebasan dan nyawanya demi membebaskan ayah dan gurunya. Ia memilih menghadapi maut daripada membiarkan orang-orang yang dicintainya menderita karena dirinya.
Pesan untuk Zaman Ini
Amanat terakhir Si Pitung bergema hingga hari ini, mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan ketidakadilan tidak pernah berakhir. Dalam setiap zaman, akan selalu ada “kompeni” baru yang menindas rakyat kecil—baik dalam bentuk korupsi, kesenjangan sosial, atau penyalahgunaan kekuasaan.
Warisan terbesar Pitung bukanlah kisah kesaktiannnya yang mampu menghindari peluru, melainkan keteguhan hatinya untuk selalu berpihak pada kebenaran. Ia mengajarkan bahwa setiap orang, sekecil apapun, memiliki tanggung jawab moral untuk melawan ketidakadilan di sekitarnya.
Ketika van Hinne dipromosikan setelah membunuh Pitung, sementara rakyat Betawi berduka atas kepergian jagoan mereka, sejarah mencatat siapa yang sesungguhnya menang. Kematian Pitung melahirkan inspirasi yang abadi, sementara van Hinne hanya diingat sebagai algojo.
Si Pitung telah wafat, namun semangatnya terus hidup dalam setiap hati yang rindu keadilan. Amanatnya sederhana namun mendalam: dalam perjuangan melawan kezaliman, jangan pernah kehilangan kemanusiaan. Karena kemenangan sejati bukanlah ketika musuh tumbang, melainkan ketika kebenaran dan kasih sayang tetap bersemayam dalam jiwa pejuang.
Selamat jalan, Bang Pitung. Amanatmu akan selalu kami jaga.(www.budipekerti.org/wd)
luar biasa, semangat si Pitung tak kan lekang oleh jaman, nama Pitung mengilhami setiap detak nadi para pejuang kemanusiaan negeri ini. 👍👍
Sasaran kolonial di zaman merdeka 2025. 80 tahun telah berlalu. ternyata Masih kuat. Kini yang berganti hanya lah warna kulit,hitam dari buké. Hidung pesek dari mancung. Karakter dan lainnya hanya sedikit beralih. “pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan jarak seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Itu adalah pesan dari bait Proklamasi kemerdekaan RI.
lihat di Pantai Indah Kapuk 2.
perampasan hak rakyat dilakukan oleh pihak yang kuat di bawah bayang-bayang pemerintah yang sah. pik 2 adalah wilayah yang ada di dalam jantung ibukota RI, apalagi wilayah-wilayah yang jauh dari ibukota RI. kejadian kesewenang-wenangan lebih parah menindas rakyat.
pesan Si Pitung tidak dijadikan pelajaran oleh pihak penguasa. ” maka baik-baiklah lo kepada orang kampung”.
siapa yang mendengar atau melihat secara detail kata kata si Pitung itu, siapa dia dan kenapa terasa begitu detail,
Ini bisa coba disearch di berbagai sumber online. Ada beberapa media juga mendokumentasikannya.
si Pitung legenda dari Jawa Barat, dia seorang pendekar juga perampok. Diatumbuh dari sistem kolonial yang menindas, menyaksikan penderitaan rakyat. Dia merampok dirumah kaya hadilnya di bagikan pada rakyat miskin. Dia seperti Robin hood. Karena penghianatan dis tertangkap dan tertembak mati…sebelum mati berpesan pada musuhnya yang membuat takut. Ajaran kebaikan yang dia tinggalkan.. Dalam perjuangan melawan kezaliman jangan pernah kehilangan kemanusiaan karena kemenangan sejati bukan karena musuh tumbang, melainkan ketika kebenaran dan kasih sayang tetap bersemayam dalam jiwa pejuang.
No.Hp : 0821 725 61 758
keberanian Bang Pitung ( almarhum), adalah keberanian yg memihak kepada orang kampung ( rakyat). Walaupun Bang Pitung Uda ga ada- Namun semangat juang membela rakyat tetap kita jadikan sebagai amanat yg ditinggalkan Bang Pitung. Benar apa Kata Bang pitung – bentuk penjajahan dan penindasan itu hakekatnya sama- hanya letak pada zaman dan di era siapa yg berkuasa – Oligarki, pengusaha yg rakus, lalu bekerja sama dengan penguasa yg Zholim, mereka itu sesungguhnya adalah Penjajah.
.
Bagus