Manusia makan nasi. Ada yang setiap hari. Tetapi, pernahkah kita terpikir bagaimana beras bisa muncul ??
Sebelum membaca legendanya, mohon luangkan sedikit waktu untuk menandatangani sebuah petisi untuk menolak kejahatan yang sedang terjadi di Tiongkok.
Sebuah kebaikan kecil tidak luput dari catatan Sang Pencipta. Bantuan Anda sangat berharga.
.
Dahulu kala, bumi ini belum seperti sekarang. Tidak ada sawah hijau, tidak ada rumah nyaman, apalagi nasi hangat yang harum. Yang ada hanyalah hutan lebat penuh suara binatang.
Bayangkan… si burung bernyanyi “cuitt… cuittt…” dari kejauhan, sementara si harimau mengaum keras “grrrhh!” sehingga manusia kecil yang lemah hanya bisa bersembunyi ketakutan. Mereka makan buah hutan seadanya, kadang menangkap hewan kecil, tapi itu pun rebutan dengan binatang buas. Aduh, kasihan sekali!
Suatu hari, hujan deras turun tiada henti, “byuuuur! byuuuur!” sampai dunia ini banjir besar. Buah-buahan busuk terendam, hewan-hewan banyak yang mati. Manusia pun lapar, duduk di gua, perut mereka berbunyi, “krucuk… krucuk…” tapi tak ada makanan sama sekali.
Nun jauh di timur sana, ada sebuah pulau ajaib. Pulau itu rumah para dewa. Mereka melihat penderitaan manusia, dan hati mereka pun iba. Kaisar Giok, pemimpin para dewa, mengelus jenggot putih panjangnya dan berkata lembut,
“Manusia sungguh menderita sejak banjir besar. Kita harus menolong mereka!”
Shen Nong, dewa biji-bijian, tersenyum sambil membawa setangkai padi emas yang berkilau, “Kalau manusia tahu cara menanam padi, mereka tak lagi kelaparan. Tidak perlu bertarung dengan binatang buas. Setiap tahun padi akan tumbuh dan menghasilkan beras, makanan yang lezat dan cukup untuk semua!”
“Oh! Ide yang bagus!” Fuxi, sang bijak, berseru. “Dan mari kita kirim juga hewan-hewan berguna agar manusia bisa bekerja dan berteman dengan mereka.”
Semua Dewa mendukung ide ini dan bertepuk tangan setuju.
Maka dipilihlah enam hewan: kuda, sapi, kambing, ayam, anjing, dan babi.
-
Sapi dan Kuda untuk membajak sawah dan menarik kereta.
-
Kambing memberi susu, sehat dan bergizi.
-
Ayam akan berkokok tiap pagi, “kukuruyuuuuk!”, supaya manusia rajin bangun dan bekerja.
-
Anjing menjaga rumah dengan setia.
-
Dan babi, meski hanya makan-tidur, akan memberi daging untuk manusia.
Semua tugas sudah dibagi, tapi lalu Kaisar Giok mengerutkan alisnya, “Hmm… bagaimana caranya membawa padi ini ke dunia manusia? Lautan luas memisahkan kita!”
Kala itu, padi tumbuh dengan tak terhitung banyaknya bulir beras—rapat berjejer dari pangkal hingga ke ujung tangkainya, semuanya telah matang dan siap dipetik. Namun, karena bulir-bulir beras itu sangatlah ringan dan mudah luruh, siapa pun yang ingin membawanya melintasi lautan, sangat sulit dan rapuh.
Kaisar Giok dengan lembut bertanya kepada keenam hewan, apakah ada yang bisa menyelesaikan misi ini?
Para hewan saling pandang. Sapi menggeleng, “Muuuu! Aku terlalu besar dan berat.” Kuda menolak, “Tubuhku licin, biji padi tak akan menempel.” Ayam mengepak-ngepakkan sayap, “Kukuruyuk! Aku terlalu kecil!” Kambing dan babi pun sama, ikut-ikutan menolak.
Tiba-tiba, suara tulus terdengar…
“Guk guk! Jika manusia memang lapar, biar saya yang coba. Saya mungkin kecil, tapi saya bisa berenang. Saya akan membawanya!” kata anjing abu-abu itu dengan mata berkilau penuh tekad.
Kaisar Giok pun tersenyum, menepuk kepala anjing itu. “Ingatlah, seberapa banyak padi yang kamu bawa, sebanyak itulah yang akan tumbuh di bumi.”
Maka berangkatlah mereka. Ombak laut menggulung tinggi bagaikan gunung. Sapi, kuda, dan lainnya berjuang mencapai daratan. Sementara itu, anjing kecil berenang sekuat tenaga, tubuhnya penuh bulir padi. Tapi oh! Satu per satu biji padi hanyut, “plup! plup!” terbawa ombak.
Anjing berusaha melengkungkan tubuhnya, menegakkan ekornya tinggi-tinggi. Penuh perjuangan! Ia sadar, hanya padi di ujung ekornyalah yang masih tersisa. Dengan gigi terkatup rapat, ia berenang terus sampai hampir terengah-hengah.
Akhirnya… ia sampai di daratan! Manusia menyambut dengan sorak gembira ketika melihat buliran padi di ujung ekor anjing itu—cikal bakal makanan yang kelak menyelamatkan dunia.
Sejak hari itu, padi hanya tumbuh pada ujung tangkai, tak penuh dari pangkal ke atas, karena hanya itulah yang berhasil diselamatkan oleh anjing. Manusia pun belajar menanam, hingga kini kita semua bisa menikmati nasi hangat di meja.
Dan apa kabar si anjing? Ia jadi sahabat manusia paling setia. Sebagai tanda terima kasih, manusia selalu berbagi nasi dengan anjing. Bahkan, di beberapa tempat, tradisi lama masih terjaga: beras pertama hasil panen selalu diberikan dulu pada sang anjing.
Sementara kuda, sapi, kambing, ayam, dan babi, ya… mereka makan jerami, sekam, atau sisa padi saja. Karena yang paling berjasa, yang paling berani, adalah sahabat manusia—anjing kecil abu-abu dengan ekor tegak.
Dan begitulah… asal usul beras yang ada di meja makan kita hari ini.
Diadaptasi dari https://www.epochtimes.com/b5/2/1/22/n231360.htm
(www.budipekerti.org/crl/wd)